Fenomena yang mulai jamak dalam tradisi ibadah haji khususnya di negeri tercinta ini adalah tasyakuran sebelum berangkat haji yang dikenal dengan isti lah walimatus-safar. Tasyakuran ini modelnya beragam mulai dari orang yang diundang, waktu, makanan yang disuguhkan ataupun souvenir dan pernak-pernik yang lain. Motivasi dan latar belakangnya pun beragam, mulai dari sekedar mengikuti tradisi sampai dengan sebagai ajang pamer atau sebagai ukuran kesuksesan seseorang.
Kita yakin, mungkin pada awalnya tasyakuran diniatkan sebagai ajang silaturrahim dan pamitan kepada lingkungan sekitar serta handaitaulan. Isi dari tasyakuran haji intinya permohonan doa agar perjalanan ke tanah suci hingga pulang lagi ke tanah air berjalan lancar .Selain doa bagi yang akan berangkat tentu dimaksudkan sekaligus motivasi bagi yang belum menunaikannya. Tasyakuran tersebut biasanya dilakukan satu atau dua minggu sebelum hari pemberangkatan.
Sayangnya tanpa bermaksud suudhan dalam perkembangannya mengalami dis-orientasi. Niat yang semula positif berubah menjadi ajang “show” akan kemampuan dan kemapanan seseorang. Tasyakuran seolah menjadi sebuah rangkaian yang tak terpisahkan dari manasik haji. Semakin tinggi gengsi seseorang, maka semakin besar perhelatan yang digelar dalam rangka tasyakuran sehingga besar pula biaya yang dikeluarkan bahkan melebihi sekian kali lipat dari biaya hajinya.
Penceramah yang diundang pun menyesuaikan dengan kelas tasyakurannya. Kyai yang punya nama akan semakin meningkatkan gengsi. Walaupun hidangan yang disediakan tidak sebanding dengan nama besar kyai yang diundang ceramah.
Meski demikian, tidak semua kalangan memiliki pandangan yang sama dalam menyikapi persoalan tasyakuran haji ini. Sebagian calon jama’ah haji secara ekstrem memandang bahwa tidak perlu lagi melakukan tasyakuran. Mereka beranggapan bahwa momentum tersebut sia-sia saja bahkan negatif karena kita akan terjebak pada riya’ dan kesombongan.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa tasyakuran telah menjadi sebuah adat yang mau nggak mau kita harus ikuti , toh ti dak menyalahi hukum agama. Masalah kita melaksanakannya dengan motivasi pamer atau yang lain itu urusan hati masing-masing, katanya. Di kalangan para alim ulama pun, masalah ini masih menjadi perbincangan. Sebagian dari mereka membolehkannya dan sebagian yang lain melarangnya. Tergantung pada qaidah fi qhiyyah dan ijti had yang dipegang oleh masing-masing.
Dalam pandangan sederhana, perkara walimatus-safar dikembalikan saja pada niat dan cara masing-masing dalam pelaksanaannya. Jika niatannya baik, semata berpamitan pada orang-orang yang dianggap perlu, meminta doa dari mereka dan penyelenggaraannya terhindar dari berlebih-lebihan, unsur hura-hura serta riya, maka walimatus-safar seperti itu tidak menjadi masalah. Namun ketikawalimatus-safar yang diselenggarakan dihinggapi niatan dan acara yang mengandung unsur yang menyimpang dari ketentuan syari’at, maka walimatus-safar tersebut menjadi terlarang.
(Disarikan dari buku “Insyaallah Mabrur, Panduan Ibadah Haji dan Umrah” karya Dr.Aam Amiruddin/ percikaniman.id )