Sejarah Haji
Berdasarkan
sumber-sumber literatur Arab, Ibrahim a.s. dilahirkan di Babilon, dimana Yaqut
(seorang sejarawan) melukiskan bahwa negeri tersebut berada antara sungai Tigris
dan Eufrat
yang disebut As-Sawad. Ibrahim lahir pada masa raja Namrud bin Kan’an Kusy berkuasa (Afif Abdullah, 1983 : 160-161).
Setelah beberapa
waktu lamanya bermukim di negeri Haran, Ibrahim menikah dengan puteri pamannya,
Sarah.
Selama berdakwah disini, Ibrahim merasa bahwa umatnya sudah sulit menerima
dakwahnya, bahkan penolakan dan penganiayaan yang dialami. Hanya sebagian kecil
saja yang mau menerima dakwahnya , antara lain Luth a.s. Karena itu
beliau memutuskan untuk berhijrah bersama pengikutnya ke negeri Syam
(Kan’an).
Namun karena negeri Syam ditimpa musibah besar sehingga penduduknya terancam
kelaparan, maka Ibrahim melanjutkan hijrah ke Mesir (Afif Abdullah, 1983 :
184-185).
Dengan bertambahnya
usia dan belum dikaruniai putera, padahal dakwah harus terus dilanjutkan,
Ibrahim sangat mendambakan kehadiran putera sebagai pelanjutnya, sehingga ia
berdo’a kepada Allah “Robbi ! Hab li min al-shalihin” (Ya Allah ! Anugerahkan aku anak yang shaleh)
(QS. 37, Ash-Shaffat : 100). Sang isteri, Siti Sarah, seakan-akan merasakan
apa yang bergejolak dalam hati suaminya. Maka ia berkata kepada suaminya : “Allah telah menjadikan aku mandul. Oleh
karena itu, aku usulkan agar engkau menikahi budak perempuanku, Hajar. Semoga
Allah menganugerahkanmu seorang anak.” Ibrahim menerima saran isterinya,
Siti Sarah, dan akhirnya menikahi Hajar.
Dari hasil
perkawinannya dengan Siti Hajar, Nabi Ibrahim a.s. dikaruniai seorang putera
yang diberi nama Ismail. Kehadiran Ismail membuat kokoh kedudukan Siti Hajar,
namun menimbulkan kesedihan dan cemburu pada diri Siti Sarah. Akibatnya, Siti
Sarah meminta suaminya (Ibrahim) menjauhkan mereka (Siti Hajar dan Ismail) dari
pandangannya, karena tak tahan menanggung kehidupannya bersama Siti Hajar
(Ibid, h. : 186-187). Ibrahim mengabulkan permintaan Siti Sarah, karena perintah
Tuhannya. Allah mewahyukan kepada Ibrahim a.s. agar ia membawa Siti Hajar dan
Ismail pergi menuju tempat yang jauh, yaitu daerah Mekkah sekarang.
Setelah berbagai
perbekalan disiapkan, Ibrahim membawa keduanya (Siti Hajar dan Ismail yang
waktu itu masih menyusu) ke tempat yang ditunjukkan Allah. Ketika mereka sampai
di tempat tujuan Ibrahim menempatkan anak dan isterinya disana, yaitu tempat
kosong dari penduduk, gersang, dan jauh dari keramaian, dengan memberikan
makanan dan minuman yang terbatas. Tidak lama kemudian, Ibrahim berkemas-kemas
untuk melakukan perjalanan kembali ke tempat semula. Siti Hajar melihat
suaminya akan pergi jauh, ia bertanya : “Apakah
engkau akan pergi dan meninggalkan kami berdua di tempat/lembah yang gersang
ini?” Pertanyaan itu diulangnya
berkali-kali, karena Ibrahim tidak menjawabnya. Namun, ketika Siti Hajar
bertanya lagi “Apakah Allah
memerintahkanmu melakukan ini?” Ibrahim a.s. menjawab “Ya”. Dengan spontan, Siti Hajar mengatakan “Bila itu perintah Allah, maka pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan
kami berdua di tempat ini.”
Akhirnya,
berangkatlah Ibrahim dengan penuh rasa sedih dan cemas akan keselamatan
keluarganya. Karena itu, sesampainya di balik bukit, beliau menitipkan
keluarganya kepada Allah dengan do’anya dalam QS. 14, Ibrahim, ayat 37-38 :
“Ya
Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di
lemabah yang tidak mempunyai tanam-tanaman didekat rumah Engkau (Baitullah)
yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan
shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dari
buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
“Ya
Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa
yang kami lahirkan, dan tidak ada sesuatupun yang bersembunyi bagi Allah, baik
yang ada di bumi maupun di langit.”
Siti Hajar telah
mentaati perintah Allah. Lalu dia bersabar dan berdiam disana, serta memakan
bekal dan minum dengan air yang ditinggalkan Ibrahim untuk mereka berdua.
Lama-kelamaan air itu habis dan mereka merasakan kahausan. Karena tidak tahan
melihat Ismail yang menangis kehausan, Siti Hajar bangkit dan berjalan mencari
air atau menemukan orang yang mau memberi air. Ia lari ke bukit Shofa dan
berdiri disana sambil melihat ke lembah itu dengan harapan dapat melihat
seseorang yang mau membantu, tetapi tak seorangpun yang terlihat. Lalu ia
berlari ke bukit Marwah dan melakukan apa yang dilakukannya di bukit Shofa.
Usaha tersebut pun tidak berhasil, padahal ia telah berlari antara bukit Shofa
dan Marwah sebanyak tujuh kali. Nabi saw berkomentar, ketika menuturkan riwayat
ini, “Itulah Sa’i yang dilakukan setiap
muslim di antara Shofa dan Marwah.”
Ketika Siti Hajar mendekati Marwah, ia mendengar suara yang setelah
diamati adalah suara malaikat yang mengepakkan sayapnya sehingga keluarlah air
---- yang kemudian hari kita kenal dengan sebutan air zam-zam. Dengan air
itu, ia dan puteranya, Ismail, dapat meminumnya. Kemudian berdatanganlah orang
Jurhum untuk mengambil air itu dan akhirnya menetap disana. Ismail tumbuh besar
dan remaja disana dan belajar bahasa Arab kepada penduduk Jurhum. (Shahih
Bukhary, CD Rom Hadits no. 3223).
Ibrahim telah
meninggalkan anaknya, Ismail dan isterinya Siti Hajar di Makkah. Namun
demikian, ia tidak pernah melupakan dan melalaikannya, bahkan dari waktu ke
waktu ia selalu menjenguknya. Tatkala Ismail tumbuh menjadi remaja, sanggup
berusaha dan bekerja bersamanya, Ibrahim bermimpi bahwa Allah memerintahkannya
untuk menyembelih Ismail, anak satu-satunya. Ketika itu, Ibrahim mengemukakan
perintah itu kepada Ismail untuk menguji imannya, dalam QS. 37, Ash-Shaffat
ayat 102 :
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia
menjawab : “Hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapattiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Pada saat perintah
itu akan dilaksanakan oleh kedua hamba Allah tersebut, syetan menggoda Ibrahim
agar tidak melakukan korban dengan anaknya. Ibrahim a.s. melempari syetan yang
mengganggunya itu. Tempat tersebut dikenal dengan Jumrah Ula. Lalu syetan
itu datang kepada Siti Hajar dan menggodanya pula dengan cara menjelek-jelekkan
perbuatan suaminya yang akan mengorbankan anak atau darah dagingnya, yang
didambakan kehadirannya. Siti Hajar pun melakukan hal yang sama dengan
suaminya, yaitu melempari syetan dengan batu kerikil. Itulah Jumrah
yang kedua. Yang terakhir didatangi syetan adalah Ismail. Ia menyampaikan
kepada Ismail bahwa perbuatan bapaknya merupakan perbuatan yang tidak baik atau
buruk dan tidak pernah terjadi dalam sejarah manusia. Ismail mengambil kerikil
dan melemparinya kepada syetan itu. Itulah Jumrah ketiga (Ali Ahmad Al-Jurjawi,
I, 1994 : 180).
Tatkala keduanya
berserah diri kepada Allah dan telah membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah-Nya,
maka Ibrahim membaringkan anaknya. Ibrahim a.s. menggesekkan pisau ke atas
tengkuknya, namun pisau itu tidak memotongnya. Pada saat itulah Allah
menyerunya, “Hai Ibrahim, berhentilah
dari menyembelih anakmu. Seseungguhnya kamu telah mencapai maksud dari ujian.
Ini sungguh ujian yang besar lagi nyata. Maka ambillah kambing itu dan
sembelihlah sebagai pengganti anakmu.” Keluarga
Ibrahim sungguh bahagia, karena mereka telah lulus dari ujian Allah yang
dirasakan berat itu.
Setelah peristiwa
itu, Ismail terus menetap di Makkah dan berkeluarga disana, sementara Ibrahim
a.s. sang ayah, kembali ke Palestina. Cukup lama ayah dan anak ini berpisah,
kemudian datanglah perintah Allah kepada Ibrahim untuk membangun Ka’bah di
Makkah agar menjadi rumah pertama yang dibangun untuk beribadah kepada Allah.
Pada saat pertemuan
kembali dengan puteranya, Ibrahim menyampaikan perintah Allah agar membangun
sebuah rumah ibadah di tempat yang ditunjukkan-Nya, yaitu di atas bukit yang
rendah. Ismail berkata : “Kerjakanlah apa
yang diperintahkan Tuhanmu dan aku akan membantumu dalam pekerjaan yang mulia
ini.” (Afif Abdullah, 1983 : 194).
Maka mulailah Ibrahim membangunnya, sedangkan Ismail memberikan batu-batu
kepadanya. Ibrahim berkata kepada Ismail : “Bawakanlah
batu yang baik kepadaku untuk aku letakkan di sudut, sehingga batu itu menjadi
tanda bagi manusia.” Kemudian Jibril
menunjukkan batu hitam Hajar aswad dan meletakkannya pada
tempatnya. Ketika bangunan itu sudah tinggi dan orangtua itu (Ibrahim) telah lemah
untuk mengangkat batu-batu, maka ia berdiri di atas sebuah batu, yaitu Maqam
Ibrahim (Ibnu Astir, I : 46, dikutip oleh Afif Abdullah, 1983 : 195).
Allah berwasiat
kepada Ibrahim dan Ismail agar mensucikan rumah Allah itu dari noda yang nyata,
seperti kotoran-kotoran dan noda maknawi, seperti syirik dan penyembahan
berhala, sehingga ia menjadi bersih bagi orang-orang yang thawaf di sekitarnya,
orang-orang yang itikaf, dan orang-orang yang ruku’ dan sujud kepada-Nya. (QS.
2 : 125 dan QS, 22 : 26).
“Dan
(ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat
shalat. dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:
"Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang
ruku' dan yang sujud".
(QS. 2 Al Baqarah : 125)
“Dan
(ingatlah), ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah
(dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan
Aku dan sucikanlah rumahKu Ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang
yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud”. (QS. 22 Al Hajj :
26)
Pembangunan Ka’bah
telah selesai dan Ibrahim diperintah agar menyerukan haji kepada manusia.
Ketika Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyerukan kewajiban haji, ia
berkata : “Ya Rabbi! Bagaimana saya dapat
menyerukan kewajiban haji ini kepada seluruh manusia, padahal suaraku tidak
mungkin sampai kepada telinga mereka seluruhnya?” Allah menjawab : “Tugasmu adalah menyampaikan (kewajiban ini), dan Aku menjamin bahwa
berita itu akan sampai kepada mereka..” Lalu Ibrahim a.s. naik ke Jabal Abi Abi Qubais
dan menyerukan kewajiban haji tersebut (Wahbah Zuhaili, 1991, Juz XVII, :194).
Sejak saat itu, bangsa Arab berdatangan menuju Ka’bah yang dibangun Ibrahim
untuk beribadah dan menunaikan haji sesuai perintah Allah. Namun dengan
berjalannya waktu dan bergantinya masa, mereka merubah ibadah-ibadah haji yang
diajarkan Nabi Ibrahim a.s., yaitu melakukan perbuatan syirik dengan meletakkan
berhala pada Ka’bah, menyembelih qurban untuk berhala-berhala itu, berthawaf
tanpa busana, enggan melakukan wukuf di Arafah dengan orang lain/jama’ah
lainnya, karena merasa lebih tinggi derajatnya sebagai pengelola Baitullah,
lalu mereka berkumpul di suatu tempat khusus. Demikian orang Arab merubah ibadah/manasik
haji. Setelah datangnya agama Islam, Nabi Muhammad saw. membersihkan kembali
agama Ibrahim yang telah diselewengkan umatnya dan mengembalikan hal-hal yang
tidak benar kepada ajaran semula. Untuk itu, Allah menurunkan ayat-ayat yang
menjelaskan hukum-hukum haji, waktu, dan adab-adabnya. (Mahmud Syaltut, 1966 :
120-122). ***